Reportactual.com – Sebingkai Kisah, Dalam sejarah ummat manusia, tercatatlah kisah seorang hamba yang diliputi keagungan karunia. Bagaimana tidak? Hamba yang shalih ini dianugerahi kerajaan yang tiada tandingan, baik kerajaan ummat-ummat sebelumnya maupun setelahnya. Kekuasaannya tidak hanya atas manusia, tapi meliputi pula binatang, angin, dan bangsa jin.
Nabiyullah Sulaiman itulah sang raja. Mewarisi kebesaran ayahnya, Daud alaihissalam, yang angin dan burung-burung berdzikir bersamanya, yang besi dilunakkan untuknya. Sang putra bahkan memiliki kekuasaan yang melebihi ayahandanya. Kemegahan kerajaan keduanya bisa kita simak dalam rangkaian butir 10-13 surat Saba’ yang menggetarkan jiwa.
Namun, dengan kekusaan yang begitu digdaya ini, pengakuan akan kehambaan diri tetaplah menghiasi. Ketawadhu’an kepada Sang Pencipta semakin menambah luhur kedudukannya. Pengharapan akan karunia abadi senantiasa menjadi yang paling dinanti.
Marilah kita simak, ketawadhu’an sejati seorang hamba yang terabadi pada QS. An Naml berikut ini.
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
_”Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo’a, ‘Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang Shalih.”_ (An-Naml: 19)
Dalam ayat di atas, terkisah bahwa Raja Sulaiman beserta bala pasukannya sedang berjalan dan hendak melewati barisan semut di hadapan. Terdengarlah olehnya seruan sang komando semut agar pasukan semut menyingkir sehingga selamat dari injakan sang raja Sulaiman dan dan bala Tentaranya. Mendengar seruan binatang kecil tersebut bukan kesombongan yang ditampakkan, tapi justru jiwa penghambaan yang Ia tunjukkan. Alih-alih berbangga dengan kuasanya, ia malah memohon kebaikan kepada Rabbnya.
Marilah kita simak sikap hamba shalih ini yang patut dijadikan teladan:
?? Menjadi Hamba yang Bersyukur
Melalui ayat ini, kita belajar tentang penghargaan dan pengakuan seorang hamba akan anugerah nikmat Allah yang tidak terhingga. Apalagi—seperti yang diutarakan oleh Ibnu Katsir—telah terhimpun pada diri Nabi Sulaiman kebahagiaan dan kenikmatan dunia dan akhirat, dari kedudukan dan kerajaan yang tidak terbatas, serta kenabian dan kerasulannya.
Sayyid Quthb mencoba memberikan analisisnya tentang ayat ini, bahwa ungkapan _”Rabbi awzi’ni“_ yang secara tulus keluar dari lisan Nabiyullah Sulaiman pada saat itu mencerminkan satu pengakuan dan perasaan yang cukup dalam akan besarnya karunia Allah terhadap diri dan orang tuanya. Karena kata _”Awzi’ni”_ bermakna, “Himpunkanlah segala apa yang ada pada diriku. Himpunkanlah segala perasaan, segala ucapan, lintasan hati, pikiran, amal perbuatan, dan segenap kekuatanku dalam rangka mensyukuri nikmat-Mu atas diriku dan orang tuaku.”
Lihatlah, betapa seorang nabi yang shalih dengan tawadhunya masih berharap kekuatan dan taufik dari Allah untuk bisa bersyukur dan beramal shalih.
? Memiliki Orientasi Akhirat
Berdasarkan muantannya, ayat ini menghimpun tiga permintaan yang sama sekali tidak terkait dengan urusan duniawi. Ketiga permintaan itu adalah permohonan agar Allah menjadikannya hamba yang senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya, permohonan agar senantiasa diberi kekuatan untuk beramal shalih sebagai bentuk syukurnya, dan permohonan agar ia dimasukkan dalam golongan orang-orang yang shalih.
Inilah do’a yang luar biasa, di saat kebanyakan orang lebih meminta kebaikan duniawi daripada ukhrawi. Tentu bukanlah sebuah kesalahan ketika manusia meminta kebaikan dunia, karena Al Quran dan hadits pun mengajarkannya. Akan tetapi, kita harus juga ingat bahwa kebaikan akhirat itu lebih besar nilainy dan kekal selamanya.
Sesungguhnya, kita sebagai hamba tak mampu melakukan ketaatan kecuali atas taufik yang diberikan Allah kepada kita. Maka sudah semestinya kita senantiasa memohon agar Allah memampukan kita untuk melakukan amal-amal ketaatan dan memasukkan kita dalam golongan orang-orang yang mendapat rahmat-Nya.
? Khathimah
Kekayaan, kepandaian, kedudukan, dan kekuasaan adalah titipan dari Allah, tiada kekal, hanya sementara. Allah dengan kekuasaan-Nya berhak memberikan kepada yang Dia kehendaki dan mencabut dari yang Dia kehendaki.
Maka selayaknya manusia bersyukur akan karunia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Selayakanya pula ia senantiasa beramal shalih, menjaga ketaatan kepada Rabb-nya sebagai bukti penghambaan dan manifestasi syukur sejati. Manusia bukan apa-apa, manusia bukan siapa-siapa, Allah-lah yang memberinya karunia. Semulia apapun ia di hadapan manusia, tetaplah ia hanya seorang hamba.
Penulis : Maria Khalisha / Pegiat Literasi Kabupaten Semarang
—————————
*(Maraji’: Tafsir Tazkiyah, Dr. Atabik Luthfi, MA.)*
Reportactual.com productions
Leave a Reply