KESENIAN WAYANG ORANG KESENIAN LELUHUR YANG MULAI LUNTUR DI SEMARANG “

by October 21, 2017
BUDAYA LELUHUR 0   2.2K views 0

Foto Doc / Istimewa

Reportactual.com – Semarang – Jika bicara Wayang Orang mungkin generasi muda kita sekarang lebih banyak yang tidak paham bahkan mungkin terkesan asing. Kondisi seperti ini tentunya sangat memprihatinkan, mengingat kesenian wayang orang merupakan kebudayaan leluhur yang sangat bernilai.

Oleh karena itu di Semarang sedang diupayakan kelestarian kesenian wayang orang tersebut. Kesenian wayang orang (WO) pernah memiliki banyak peminat di Kota Semarang. Perwujudan cerita pewayangan menjadi pertunjukan drama berbahasa Jawa dan gerak tari itu menempati beberapa sudut kota. Pergelaran pun dilakukan setiap hari. Saat ini kesenian itu masih bertahan, meskipun penonton tidak banyak lagi.

”Wayang orang di Semarang banyak peminatnya tahun 1980-an. Waktu itu ada lima kelompok,” kata Paminto, pemerhati wayang orang. Kelompok itu adalah WO Sriwanita yang berpentas di Dargo, Semarang Timur, WO Wahyu Budaya di Taman Hiburan Rakyat (THR) yang kini menjadi Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), WO Ngesti Pandawa di Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS) yang kini menjadi Mal Paragon, WO Sriwijaya, dan WO Puspa Budaya yang merupakan perkumpulan pemain wayang orang.

”Semua kelompok wayang orang. Mereka mementaskan ketoprak karena permintaan penonton. Awalnya seminggu dua kali, kemudian menjadi seminggu sekali,” tuturnya. Setiap hari WO berpentas. Peminat pun rela antre beli tiket beberapa jam sebelum pementasan.

Bahkan ada yang membeli sebelum loket dibuka lantaran ada calo tiket. Dia menuturkan wayang orang pada era itu didirikan oleh pemilik modal, yang mengatur kegiatan hingga manajerial. Para pemain kelompok wayang orang menempati satu kompleks rumah.

”Juragan membiayai keluarga pemain. Para pemain fokus pada kesenian. Tujuannya supaya kualitas pertunjukan bagus,” katanya.

Di kompleks keluarga pemain wayang orang itu kemudian lahir anak-anak yang meneruskan menjadi pemain wayang orang. Pola pendidikannya dengan mengajak anakanaknya menonton latihan dan pementasan.

‘’Tidak memaksa. Anak-anak yang setiap hari melihat, akhirnya tertarik untuk mengikuti. Mereka meniru apa yang dilakukan orang tuanya. Itu pola pendidikannya.’’ Peminat wayang orang mulai menurun sekitar 1995 ketika bertumbuhan gedung bioskop. Para penonton banyak yang beralih menonton bioskop.

WO Sriwijaya mengawali undur diri, disusul WO Sriwanita, WO Wahyu Budaya, dan WO Puspa Budaya. ‘’WO Ngesti Pandawa bertahan. Para pemain wayang orang yang bubar menggabungkan diri. Saat ini masih ada pemain wayang orang yang mati itu bergabung di WO Ngesti Pandawa,’’ tutur dia.

Selain itu, peminat wayang orangf menurun juga lantaran kegagalan regenerasi. Di tengah perkembangan zaman, keturunan pemain wayang orang merasa harus ikut mengemban tugas mengembangkan kelompok. ‘’Generasinya ikut karena balas budi. Kelompok itu yang membesarkan diri. Jadi tidak dari hati yang terdalam.

Sistem pengelolaan juragan juga menyebabkan wayang orang kurang baik. Ketika juragan sudah tidak ada, kelompoknya pasti bubar,’’ ujar dia. Saat ini, wayang orang yang tersisa tinggal satu. Itulah WO Ngesti Pandawa yang berpentas di Gedung Ki Nartosabdho TBRS setiap Sabtu malam. Dia mengakui, wayang orang lemah dalam soal sosialisasi dan publikasi. ‘’Masyarakat yang berminat menonton wayang orang masih banyak sampai saat ini.

Namun banyak yang tidak tahu wayang orang masih ada di Semarang.’’ Berdasar pengamatannya, dukungan pemerintah terhadap kesenian wayang orang masih kurang. Meskipun banyak pejabat menyukai wayang orang, itu lebih bersifat pribadi.

’Kalau memang suka, seharusnya membuat peraturan tentang kebudayaan, khususnya wayang orang. Jadi kalau sudah tidak menjabat lagi, wayang orang masih terurus dengan baik. Itu lebih berguna,’’ tandas Paminto

Sumber Suaramerdeka.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.