Lebih baik sakit gigi, dari pada sakit hati.
Lebih baik bau asap dari pada bau amis.
Reportactual.com – Ambarawa – Itulah perumpamaan yang mungkin pas untuk Bu Watik penjual kue serabi ngampin. Makanan khas Ngampin, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Pasalnya, bau asap yang mengepul dari tungku api pembakaran untuk memanggang serabi sudah menjadi sahabatnya sehari-hari. Aroma menyengat hasil pembakaran kayu ini tak membuatnya kapok. Buktinya ia betah berjualan serabi sejak 15 tahun yang lalu.
“Lebih baik bau asap dari pada bau amis,” ujar Bu Watik sambil senyum geli saat aku menanyakan efek bau asap pembakaran ini.
“Lah, kok bisa begitu, Buk?”
“Soalnya, kadang kan orang tidak suka bau amis. Ada juga yang kadang mual dengan bau amis. Makanya menurut saya lebih baik bau asap dari pada bau amis,” tambahnya sambil tertawa kecil.
“Oh, begitu ya, Bu. Soalnya bau asap ini membawa hoki kan, Bu?” balasku menggoda. Kami pun tertawa berbarengan.
Itulah obrolan ringan sore kami di warung serabi Bu Watik. Sabtu, 5 Maret 2022, di lokasi penjualan kue serabi ngampin di desa Ngampin, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Suasana gerimis setelah hujan telah menarik hatiku untuk jajan di sentra kue serabi kuah ini.
Kue serabi ngampin masih diproses dengan alat tradisional. Tungku kecil yang disebut dengan keren digunakan untuk memanggang adonan. Tungku ini terbuat dari tanah liat dengan lubang dibagian bawah berdiameter kisaran 15 cm untuk meletakkan kayu bakar. Ukuran tungku ini kisaran 20cm x 15 cm. Selain keren, ada wajan kecil yang juga terbuat dari tanah liat berdiameter sekitar 15 cm.
Kayu menjadi bahan bakar utama proses pemanggangan kue. Cukup 2-3 kayu bakar ukuran kecil digunakan pada satu tungku. Tidak usah khawatir saat sedang menyantap kue serabi di lokasi langsung. Bau asap hasil pembakaran hanya menyegatnya penjual saja.
Menikmati kue serabi di pinggir jalan sambil memandang lalu lalang jalan raya Ngampin Ambarawa begitu menyenangkan. Kue ini memiliki aroma yang khas dari efek pemanggan, tekstur, dan rasanya yang nikmat mampu memanjakan lidah serta hati.
Adakah hubungan antara rasa manis di lidah dengan hati? Tentu saja ada. Inilah perpadauan yang melegenda dari kue serabi ngampin. ia memiliki kisah sejarah yang unik. Kue serabi ngampin sebenarnya sudah ada sejak tahun 1970-an. Kemudian secara turun temurun dilestarikan resepnya pada generasi sekarang ini meski ada beberapa perbedaan rasa maupun teksturnya.
“Lihat ini, rongga-rongga di serabi terjadi secara alami karena campuran gula pasir yang sengaja dicampurkan dalam adonan di rasa coklat dan pandan. Terbentuklah rongga cantik. Selain itu, bentuk permukaan serabi yang mengilap juga ada resep rahasianya,” ujar Bu Siti saudara Bu Watik yang juga berjualan serabi. Kios serabinya terletak tepat di sebelah kios Bu Watik.
“Gurih dan mengilapnya serabi itu terdapat pada proses santan untuk campuran bahan adonan.”
Aku semakin penasaran mendengar penjelasan detail penjual serabi ini. Ia menunjukkan efek kilap di permukaan kue yang menggemaskan itu. Aku lalu mengamati seksama dengan jarak yang begitu dekat. Aromanya menguar memasuki hidung yang membuatku menelan ludah berkali-kali. Sungguh takjub melihat proses khusus dari tahapan pembuatan kue ini.
“Adonan ini menggunakan santan kelapa dari perasan pertama. Untuk perasan kedua dan selanjutnya biasanya digunakan untuk membuat kuahnya. Kentalnya santan perasan pertama membuat rasa gurihnya begitu spesial dan permukaannya mengilap.”
“Ohhh…” bibirku hanya bisa membulat sambil mengangguk senang. Ini dia resep rahasia kue serabi ngampin.
Dulu, kue serabi hanya dijual satu tahun sekali. Tidak setiap hari seperti sekarang. Biasanya dijual di acara Sya’banan. Di bulan Sya’ban, dua minggu menjelang Ramadhan. Acara tradisional ini dilakukan secara turun temurun di daerah Ambarawa. Biasanya acara dimulai dengan melakukan jalan kaki bersama di malam hari setelah isya dari arah Pasar Projo Ambarawa, menuju ke Ngampin, lalu berhenti di Jambu. Tepatnya di Kali Jodo untuk melakukan kegiatan mandi bersama.
Kali Jodo dan serabi jodo. Kedua benda ini pun diberi nama demikian karena seringnya para lajang yang justru menemukan jodohnya di acara ini.
Acara Sya’banan diramaikan dengan tontonan wayang. Beraneka penjaja makanan pun berjajar khususnya di area Ngampin. Kue serabi menjadi makanan favorit dan dijual oleh sedikit saja penjual. Hal ini mengakibatkan pembeli harus antri untuk membelinya. Acara sangat meriah dan membuat jalan utama ke arah Jogja, Magelang, macet setelah magrib hingga tengah malam.
Menikmati kue serabi ngampin alias serabi jodo menjadi ajang mencari jodoh para kawula muda di zamannya. Sambil menyantap hangatnya kue serabi, cinta pun bersemi. Inilah legenda kue serabi yang memikat hati para penikmatnya hingga sekarang. Meskipun kegiatan Sya’banan ini telah hilang sekitar sepuluh tahun yang lalu, kue serabi ngampin tetap ada. Membuat legendanya tak lekang dan selalu dicari banyak orang.
“Dulu karena belum ada penggilingan kelapa, orang menumbuk beras bersama dengan kelapa. Mungkin teksturnya berbeda dengan sekarang. Sekarang sudah ada penggilingan kelapa yang memudahkan penjual untuk membuat bahan adonan.”
Para penjual serabi menata kue yang matang dari pemanggangan di atas wadah yang terbuat dari bambu bernama tenong. Wadah ini berbentuk bundar hampir mirip seperti tampah. Bedanya, tenong memiliki pinggiran dari bambu dengan ketinggian sekitar 15 cm dan dilengkapi dengan tutup. Tutup tenong dilapisi dengan kertas pembungkus makanan berwarna hijau. Warna hijau menjadi pilihan khas seluruh penjual. Kemudian dilapisi lagi dengan plastik bening tebal. Kue serabi yang matang ditata rapi di atasnya kemudian ditutup dengan plastik yang diganjal dengan kayu kecil membentuk seperti tenda kecil.
“Susuk yang digunakan untuk menyerok serabi matang di wajan dibuat secara khusus. Kami memesannya di pengrajin langsung karena tidak dijual di toko umum. Untuk membersihkan wajan tanah liat dari sisa panggangan juga kami buat sendiri.” Bu Siti menjelaskan sambil menunjukkan barang itu padaku.
“Ini dari pelepah kelapa yang kami buat seperti kuas untuk pembersih wajan.”
Aku geleng kepala melihat semua bahan tradisional yang berusaha dijaga oleh penjual kue serabi ini. Itulah yang membuat kue ini beda dengan yang lainnya. Prosesnya tidak semudah proses modern yang sekarang serba instan dan cepat.
Serabi ngampin memiliki tiga varian rasa. Putih, rasa original. Putih campur hijau, rasa aroma pandan dengan campuran pewarna makanan hijau. Putih campur coklat, rasa gula merah. Dalam satu porsi sajian berisi lima kue serabi dengan campuran kuah yang terbuat dari santan, gula merah, daun pandan, dan gula pasir untuk memantapkan rasa. Kita bisa menyantapnya dengan hanya menyiapkan kocek sebesar Rp 6.000,-. Satu mangkok berisi 5 kue serabi dan tape ketan hijau disiram kuah santan hangat.
“Seluruh adonan kue serabi dibuat dengan bahan alami. Tanpa baking soda, tanpa pengawet, selalu baru dalam memprosesnya. Satu kali masak untuk satu kali dikonsumsi..”
Sungguh menyenangkan menyantap serabi ngampin sambil mengobrol santai bersama para penjual serabi yang sangat ramah. Sesekali kulihat para pembeli yang mengendarai mobil mampir untuk menyantap dan membungkusnya sebagai oleh-oleh.
Kue serabi ngampin menjadi kue legenda. Selain tahu baso sebagai makanan khas Kabupaten Semarang, kue serabi ngampin menjadi pilihan spesial. Main ke Ambarawa Kabupaten Semarang, tidak lengkap jika tidak mencoba kue ini. Mari makan kue serabi, barangkali mendapat jodoh. Meskipun bukan berjodoh dengan penjual maupun pembelinya, bisa dipastikan kita berjodoh dengan kelezatannya.
Literasi by InFatCi Ceria Menulis
Leave a Reply